London – Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan, operasi militer di Ukraina, pada Kamis pagi waktu setempat.
Putin menyatakan, tindakan itu datang sebagai tanggapan atas ancaman yang dia klaim datang dari Ukraina.
Sesaat setelah pengumuman operasi militer Putin tersebut, protes menentang Putin pun merebak di penjuru Eropa.
“Saya telah membuat keputusan operasi militer,” katanya dalam sebuah pernyataan dikutip dari Deutsche Welle, Kamis 24 Februari 2022.
Putin meminta militer Ukraina untuk ‘meletakkan senjatanya’, bahwa prajurit yang melakukannya akan dapat dengan aman meninggalkan zona pertempuran.
Dalam pidatonya, ia mengatakan Rusia “tidak dapat mentolerir ancaman yang datang dari Ukraina”.
Rusia katanya, tidak memiliki tujuan untuk menduduki Ukraina. Memperingatkan negara lain, setiap upaya mengganggu tindakan Rusia akan menyebabkan ‘konsekuensi yang belum pernah mereka lihat’.
Putin mengklaim, tujuan dari operasi itu untuk melindungi warga sipil dan memastikan ‘demiliterisasi’ Ukraina.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak Putin untuk tidak memerintahkan pasukan menyerang Ukraina, selama pertemuan dewan keamanan darurat di New York.
“Jika memang operasi (militer) sedang dipersiapkan, saya hanya memiliki satu hal untuk dikatakan dari lubuk hati saya,” kata Guterres.
“Presiden Putin, hentikan pasukan Anda dari menyerang Ukraina, beri kesempatan perdamaian”.
Sementara itu, Presiden AS Joe Biden mengecam keputusan Rusia untuk melakukan operasi militer di Ukraina timur.
Biden menyebutnya hal itu tidak beralasan dan tidak dapat dibenarkan.
Biden bersumpah, dunia akan ‘meminta pertanggungjawaban Rusia. Ia pun memantau situasi di Ukraina dari Gedung Putih, dan juga akan berbicara dengan rekan G7, hari Kamis ini.
Diketahui, ketegangan antara Rusia dan Ukraina memiliki sejarah sejak Abad Pertengahan.
Kedua negara memiliki akar yang sama, pembentukan negara Slavia Timur. Inilah sebabnya kenapa Presiden Rusia itu menyebut kedua negara itu sebagai ‘satu orang’.
Namun, sebenarnya jalan kedua negara telah terbagi selama berabad-abad. Sehingga memunculkan dua bahasa dan budaya yang erat, tapi cukup berbeda.
Sementara itu, jurnal resmi Uni Eropa (UE) memberlakukan sejumlah sanksi terhadap Rusia mulai berlaku pada Rabu 23 Februari.
Ha itu sebagai langkah pertama dalam serangkaian tindakan yang akan diambil blok itu.
Utamanya jika Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan serangan atau mendorong pasukannya lebih dalam ke tetangganya Ukraina.
Sanksi ekonomi menargetkan pejabat tinggi pemerintah Rusia, beberapa perusahaan dan ratusan anggota parlemen yang memilih untuk mengakui kemerdekaan wilayah yang dikuasai kelompok separatis di Ukraina timur.
Sanksi itu termasuk pembekuan aset dan larangan perjalanan bagi individu yang terdaftar ke negara mana saja di UE, di mana banyak orang kaya Rusia memiliki properti.
Sanksi juga mencegah pemerintah Rusia dan Bank Sentral mengakses keuangan di pasar modal UE.
Selain itu, sanksi larangan perdagangan antara UE dan daerah yang akan memisahkan diri di wilayah Donbas timur Ukraina juga dijatuhkan.
Sebelumnya, Rusia sudah dijatuhkan berbagai sanksi yang diberlakukan oleh UE, setelah pencaplokan Krimea pada tahun 2014.
Sanksi itu terkait dengan sektor keuangan, energi dan pertahanan serta fasilitas yang dapat digunakan, baik untuk keperluan sipil maupun militer.
Di antara mereka yang terkena sanksi adalah Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu, dan kepala militer yang menjabat.
UE juga memberlakukan sanksi itu pada kepala saluran televisi pemerintah Rusia RT, dan juru bicara kementerian luar negeri.
Presiden Dewan Eropa Charles Michel memuji cara para pemimpin blok menunjukkan persatuan, terutama melalui adopsi cepat sanksi.
Michel juga mengumumkan, para pemimpin blok akan bertemu di Brussel pada hari Kamis ini, untuk membahas krisis Ukraina – Rusia.***
Discussion about this post