Jakarta – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyampaikan berdasarkan data dari Organisasi Meteorologi Dunia, 2023 dinyatakan menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah pencatatan iklim.
Dari data Organisasi Meteorologi Dunia, pada Juli – Agustus 2023 tercatat sebagai tiga bulan terpanas sepanjang sejarah.
“Menyimak evolusi iklim 2023, tahun ini berpeluang besar akan menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah pencatatan iklim,” kata Dwikorita secara daring di Jakarta diterima, Kamis 16 November 2023.
Pernyataan tersebut terungkap pada seminar nasional dengan tema “Perspektif Daerah: Rekomendasi Penanganan Perubahan Iklim untuk Pemerintah Mendatang” di Jakarta.
Seminar kerja sama BMKG bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Institut Hijau Indonesia dan akademisi dari universitas negeri.
“Suhu panas di tahun 2023 mengalahkan saat terjadi El Nino kuat di tahun 2016. Bahkan organisasi meteorologi dunia menyimpulkan, ada potensi terjadinya kekeringan yang besar akibat tren kenaikan suhu sebagai dampak perubahan iklim,” katanya.
Dwikorita menyatakan, bencana iklim di tahun 2023 terjadi di level global. Antara lain Italia, Yunani, Afrika Utara yang pada Juli 2023, suhunya mencapai 47 derajat Celcius.
Bahkan Amerika katanya di bagian barat katanya, mencapai 53 derajat Celsius, dan selama 31 hari berurutan, suhu mencapai lebih dari 43 derajat Celsius.
“Ini belum pernah terjadi sebelumnya, akibat dari gelombang panas yang terjadi di banyak tempat secara bersamaan,” lanjutnya.
Sedangkan pada bulan Juli 2023, tercatat sebagai bulan terpanas sepanjang sejarah, rata-rata lebih panas dari 30 tahun sebelum ini.
Ia menyebutkan, untuk sementara Indonesia masih berada di kondisi yang relatif aman. Kemungkinan besar disebabkan oleh wilayahnya yang lembab dan dikelilingi oleh samudera yang lebih luas dari daratan.
“Namun harus diwaspadai, gaya hidup bisa menyebabkan kekeringan secara lokal, saat El Nino bisa berdampak pada kekeringan selama tiga bulan lebih, dan trennya akan meningkat,” tegas Dwikorita.
Dampak lanjutan dari kenaikan suhu akibat gaya hidup tidak ramah lingkungan berakibat pada kekeringan, akan berujung pada terganggunya ketahanan pangan di pertengahan abad 21 atau sekitar tahun 2050.
“Terjadi peningkatan kerentanan pada stok pangan dunia. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), hampir 500 juta petani skala kecil yang memproduksi lebih dari 80 persen stok pangan dunia akan terdampak, karena paling rentan terhadap perubahan iklim,” tambahnya.
Menghadapi krisis iklim global itu, Dwikorita menekankan pentingnya upaya adaptasi dan mitigasi melalui tiga pilar yang saling terkoneksi, yakni kebijakan, pelayanan dan sains.***
Discussion about this post